Entri Populer

Jumat, 09 Desember 2011

MEMPERKENALKAN VIRUS KORUPSI DI KALANGAN PELAJAR DAN MAHASISWA

Jumat, 9 Des 2011

Oleh: Taufik Rohman, DRS. SH. MH.
Kasi Bin Luh Dit Binmas Polda Jawa Barat
KORUPSI MENARIK DIBICARAKAN KARENA:
1. Bersifat kriminogen, sekaligus Viktimogen
2. Hakekatnya dari maksud dan tujuannya adalah melawan kewajiban
3. Timbulkan diskriminasi: menilai seseorang berdasarkan nilai uang, jadi sejak awal sudah memiliki muatan ketidakadilan
4. Penghianatan terhadap amanat publik
5. Korupsi merupakan ”natural wrongs”, atau hal yang salah sejak awalnya, maka pasti bertentangan dengan nurani.
KORUPSI: Bribe (Inggris), :Briba (Latin): a piece of bread given to begger, atau Alms (sedekah, sepotong roti yang diberikan kepada pengemis), :blackmail (suap), atau :extortion (pemerasan).
KORUPSI bermetamorfose menjadi: hadiah, honorarium, komisi, biaya konsultasi, tips, uang kehormatan, biaya transaksi, biaya administrasi, dsb. SI penerima dibuat merasa berhutang, dan akhirnya si penerima membalas imbalan dengan melakukan seperti yang dimaui oleh si pemberi.
Korupsi  Dari Minum Kopi Bersama Menuju Fee
Korupsi Dari Biaya Administrasi Menuju Travel Cek
Korupsi Dari Hadiah Menuju Upeti
Korupsi Dari Honor Dan Jasa Menuju Porsi Jabatan
Kurupsi Dari Uang pelicin Menuju Suap dan Pemerasan
Korupsi Dari Mark Up Menuju Perampokan
KORUPSI:
Biasanya modus dari korupsi adalah menciptakan hambatan dan memperlama proses pelayanan, dan menciptakan situasi dan kondisi yg koruptif .
NILAI DAN MORALITAS:
Akal budi, norma, iman, agama dan Tuhan menjadi landasan bahwa moralitas memilki ”SESUATU”. Sesuatu yang pada dasarnya berasal ”DARI LUAR” manusia. Manusia mendapatkan norma, iman, agama, dan lain sebagainya bukan dari fungsi dirinya sendiri. Dalam moralitas, agama, budaya dan nilai-nilai ”lokal”, sesuatu itu ditempatkan sebagai penentu kebenaran. Nilai, kaidah dan asas (NKA) adalah penentu kebenaran yang bersifat abstrak, selanjutnya dalam tataran kenegaraan dan pemerintahan, NKA tersebut kemudian harus tersenyawakan dalam Undang-Undang (UU). Tetapi tidak semua produk/substansi UU/hukum mengandung atau dijiwai moralitas, demikian pula dalam implementasi hukum/UU tersebut sangat tergantung dari akhlak dan kompetensi pelaku/ praksis hukum.
SUMBER MORALITAS:
1. Agama
2. Kesusilaan
3. Kesopanan
4. Hukum
DALAM PANDANGAN PSIKOLOGIS, manusia adalah MAHLUK YANG BERHASRAT, dan BUKAN MAHLUK YANG BERMORAL. Hasrat ada dan eksis dalam detak jantung peradapan manusia. Sedangkan MORAL atau MORALITAS adalah sebuah kutub untuk mengendalikan hasrat manusia, berfungsi untuk menciptakan keseimbangan sebagaai ”manusia”.
DALAM PANDANGAN ISLAM, Manusia adalah mahluk yang diciptakan dalam sebaik-baik bentuk, yaitu dengan sebutan ahsani taqwim (hal ini mengisyaratkan kondisi awal yg disebut sebagai potensi, QS At-Tin: 4-6). Untuk mewujudkan potensi tersebut (aktualisasi diri) maka manusia diberinya kebebasan (hasrat). Kebebasan manusia itulah yang melahirkan suatu tanggungjawab. Orang yang selalu memenuhi hidupnya dengan menuruti hasrat yang buruk maka ia akan mempertanggungjawabkan pilihan hidupnya itu kepada Tuhannya dan masyarakat. Namun, karena sejak kelahirannya manusia itu dibekali dengan roh ketaqwaan (ahsani taqwim), maka orang yang paling pertama kali merasakan derita akibat dari pemuasan hasratnya yang buruk itu adalah dirinya sendiri. Ketika seseorang melanggar moralitas, maka ke-ahsani taqwim-annya memberinya tanda, yaitu ”rasa” gelisah.
HUKUM YANG BERMORAL
Quid leges sine moribus (Moral merupakan bagian vital dari hukum), oleh karena itu hukum tidak akan memiliki arti kalau tidak dijiwai oleh moralitas. Hukum yang terlepas dari moral tak akan mampu mewujudkan keadilan. Karena sifatnya yang statis maka hukum sangat tergantung pada orang atau subjek yang menegakkan. Jika subjek penegak hukumnya berpegang teguh pada prinsip moral, maka hukumpun akan hidup sebagai benteng perlindungan yang dapat memberi rasa bagi keadilan. Dan sebaliknya jika dilepaskan dari konteks moral, maka hukum dapat menjadi predator keadilan tanpa batas. Oleh sebab itu, problem hukum memang tidak terletak pada materi hukumnya saja, tetapi juga tergantung dari kualitas moral manusia yang menegakkannya.
Dalam filsafat hukum, moralitas termuat dalam dua hal:
1. Esensi hukumnya; Mengandung nilai moral atau tidak, atau IUSTITIA/ KEADILAN, dan VERITAS/ KEBENARAN, (Iustitia et verites)
2. Perilaku praksis berhukum;  aparat hukum di tuntut untuk mengahayati dan mengimplementasikan NILAI-NILAI ETIS dalam dirinya sendiri. Jadi aparat hukum menjadi cermin moralitas hukum di tengah masyarakat melalui perilakunya.
PARADOKS BERHUKUM DAN MORALITAS
Ilustrasi. Seorang pejabat publik telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi. Kemudian masyarakat menuntutnya mundur, tetapi pejabat tersebut tidak bersedia mundur, dengan berdalih bahwa proses hukum masih berlangsung dan vonis hakim belum jatuh, ATAU, vonis hakim belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan dalih menjunjung tinggi asas legalitas atau asas presumtion of innocent serta HAM, sering kali seorang pejabat tidak bersedia mengundurkan diri meskipun legitimasi pejabat tersebut telah sampai dititk nol. Dengan dalih menghormati hukum, maka DIA telah berbuat/ bersikap tidak bermoral. INILAH PARADOKS yang seharusnya tidak boleh terjadi, karena Quid leges sine moribus.
Sumber :http://www.polisi-sholeh.blogspot.com

Rabu, 26 Oktober 2011

Papua Membara

Papua merupakan salah satu provinsi di indonesia bagian barat. Melalui suatu pergulatan politik, papua diberikan otonomi khusus oleh pemerintah indonesia UU No 10 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus Papua. Penyebab lahirnya Otonomi khusus ini disebabkan oleh adanya permasalahan mengenai sejarah proses integrasi papua, masalah keamanan dan pelanggaran HAM, serta kegagalan pemerintah dalam membangun papua memjadi daerah yang sejahtera, termasuk dalam bidang pemerataan pendidikan dan pembangunan. Sudah bukan rahasia lagi bahwa papua merupakan salah satu kawasan di indonesia yang cukup tertinggal, terutama bagi mereka yang tinggal didaerah pedalaman (pegunungan). Struktur geografis papua yang cukup ekstrim menyebabkan pembangunan infrastruktur terhambat.
 
Baru-baru ini Papua kembali memanas, adanya masalah internal PT Freeport tentang kesejahteraan pekerja, gerakan separatis Papua Merdeka yang diikuti penembakan karyawan PT Freeport, bahkan salah seorang kapolsek dipapua juga turut menjadi korban penembakan menunjukkan bahwa ada yang tidak beres dengan papua. Konflik antar suku yang kerap menimbulkan korban jiwa seolah tidak pernah berakhir, sekalipun sudah ada penyelesaian melalui janlan adat maupun formal.

Konflik dipapua memang bukan hal yang baru, sejak jaman orba pun sudah ada gerakan separatis ini. Namun, baru setelah reformasi gerakan ini kembali menggeliat. Belum hilang dari ingatan kita ketika sekelompok orang menari adat papua dengan mengenakan atribut papua merdeka ketika acara tersebut dihadiri oleh Presiden SBY. Seakan menampar pemerintah indonesia dan mengatakan pada dunia ini lho kami, papua merdeka ada dan eksis.

Dalam Perpres Nomor 6 tahun 2011 tentang pembentukan Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat sebagai upaya pemerintah untuk mempercepat pembangunan dipapua, dana yang diberikan oleh pemerintah sebesar 28 triliun untuk papua dan 5,1 triliun untuk papua barat. Dengan dana yang sebesar itu tentu harusnya ada sedikit perkembangan yang signifikan di papua. Namun yang terjadi justru dana sebesar itu diindikasikan dikorupsi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Kesenjangan pembangunan antara papua dengan daerah-daerah lain indonesia terutama jawa menimbulkan persepsi bahwa papua sengaja ditinggalkan. Lain dari itu potensi terbesar masyarakat papua justru dikuasai pihak asing (PT Freeport), yang mana hasil dari pengelolaan sumberdaya papua tersebut tidak memberikan dampak yang signifikan bagi kesejateraan masyarakat papua.

Masalah pendidikan juga menjadi salah satu persoalan mendasar di papua. Tidak meratanya kualitas dan kuatitas pendidikan dipapua, menyebabkan rendahnya sumber daya manusia di papua. Dampaknya ketidak sepahaman pemikiran dalam pembangunan papua dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sekalipun sudah ada otonomi khusus papua, permasalahan ini masih saja belum dapat dipecahkan. Masalah-masalah ini apabila tidak segera diselesaikan bukan tidak mungkin papua menjadi timor-timur yang ke dua.
Membangun papua harus dengan hati, peningkatan tindakan represif justru malah akan menambah keruh suasana. Gerakan persuasif diikuti dengan komitmen pemerintah untuk membangun papua dan menggunakan potensi papua sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat papua baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.

Sabtu, 15 Oktober 2011

Kepatuhan masyarakat terhadap hukum,adakah??

Kita hidup dalam sebuah keberagaman macam-macam manusia dengan segala bentuk tingkah lakunya. Sekumpulan manusia yang membentuk suatu komunitas yang disebut masyarakat, dalam suatu populasi tentu memiliki berbagai macam norma yang berbeda satu sama lainnya. Ketika oleh negara berbagai macam masyarakat ini dipaksakan untuk menundukan diri terhadap norma yang dibuat oleh pemerintah, dalam hal ini norma hukum, bagaimana sikap masyarakat tersebut?
Berbagai macam faktor dalam kehidupan sosial masyarakat mempengaruhi tingkat kepatuhan hukum, baik tingkat pendidikan, budaya hukum maupun tingkat ekonomi. Walaupun faktor2 tersebut tidak selalu determinan, maksudnya dalam masa ini yang tidak patuh hukum sudah sulit dibedakan melalui faktor-faktor tersebut. Baik mahasiswa atau tukang becak sama2 melanggar hukum, contoh yang paling gampang yaitu dalam sikap berlalulintas (pengamatan penulis, termasuk pada diri saya sendiri.. :) ..).
Robert Seidman mengatakan dalam bukunya The State Law and Development (1978) bahwa; seseorang barangkali akan mematuhi undang-undang atau aturan hukum, bila kebaikan atau keuntungan dari kepatuhannya itu melebihi kerugiannya bila ia melanggar hukum. Maksudnya seseorang dalam bertindak atau berbuat tidak didasari kepatuhan hukumnya, namun melihat apakah perbuatan yang dilakukan nantinya menimbulkan keuntungan atau kerugian. Dalam hal ini faktor subyektifitas sangat berperan dimana niat serta pertimbangan untung ruginya ia pikirkan sendiri berdasarkan pengalamannya.
Selain itu Max Weber dalam bukunya On Law in Economy and Society (1954) mengatakan bahwa sebagian besar dari orang orang berbuat sesuai dengan hukum, bukan atas dasar kepatuhan yang dipandang sebagai kewajiban hukum, tetapi lingkungannya menyetujui perilaku seperti itu atau tidak menyetujui perbuatan yang menyimpang dari hukum atau mungkin juga perbuatan yang dilakukan tanpa dipikirkan. Maksudnya, seseorang berbuat sesuai aturan hukumnya, bukan karena dia tahu hukum maupun taat hukum, namun ia tidak ingin dicap jelek oleh masyarakat apabila ia tidak berlaku sesuai dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat sebagai suatu kebiasaan. Jadi walaupun ia tidak tahu hukum, namun dengan perilakunya yang seolah-olah taat hukum, padahal hanya ingin di cap baik dan tidak melanggar kebiasaan dalam masyarakat, serta kebetulan kebiasaan itu sesuai dengan hukum yang ada.
Selain itu faktor keberadaan sanksi juga mempengaruhi perilaku taat masyarakat terhadap hukum. Karena fungsi sanksi, terutama sanksi pidana yaitu menjerakan orang yang telah melanggar hukum, sehingga ia tidak mengulangi lagi perbuatan tersebut (fungsi represif), dan yang kedua yaitu menakut-nakuti masyarakat agar tidak berbuat yang melanggar hukum dikarenakan ada sanksi tersebut (fungsi preventif).
Faktor lainnya yaitu karena adanya petugas penegak hukum, dalam hal ini polisi. Masyarakat menjadi patuh hukum ketika ada polisi yang menjaga hukum itu. Jadi bukan taat hukum, tapi takut dengan polisi.
Pertanyaan lebih lanjut, apakah tingkat kesadaran masyarakat terhadap hukum masih rendah?Tentu tidak dapat dijawab dengan jawaban seadanya, banyak faktor yang mempengaruhi, terutama membangun budaya patuh hukum mulai dari tingkat anak-anak sampai dewasa.

Minggu, 10 Juli 2011

Sopan Santun Berkendara

Berkendara menggunakan kendaraan bermotor sudah menjadi salah satu kebutuhan dalam kehidupan masyarakat. Pemenuhan kebutuhan hidup merupakan sebuah faktor utama yang menyebabkan manusia membutuhkan kendaraan sebagai sarana transportasi maupun sarana mencari nafkah, baik itu menggunakan kendaraan umum maupun kendaraan pribadi. Seiring dengan semakin bertambahnya jumlah kendaraan yang digunakan, sudah tentu berimplikasi dengan semakin padatnya jumlah kendaraan dijalan raya. Sudah menjadi pemandangan umum, terutama di kota-kota besar di indonesia seperti jakarta, surabaya,makassar, kemacetan sebagai bagian dari kehidupan lalulintas. Kemudahan dalam memperoleh kendaraan yang tidak diikuti dengan perbaikan sarana dan prasarana lalu lintas seperti perbaikan jalanan yang rusak dan penambahan luas jalan ikut berkontribusi terhadap kemacetan yang ada. Belum lagi masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat dalam berlalu-lintas.

Rambu lalu lintas
Tidak terhitung lagi berapa korban jiwa yang jatuh akibat ketidaktertiban dalam berkendara. kebutuhan akan kecepatan mencapai tempat tujuan, namun tidak ditunjang dengan keadaan jalan yang mendukung menyebabkan pengendara terkadang memotong jalan bahkan melanggar rambu-rambu lalu lintas yang ada. Rambu-rambu lalu lintas seolah-olah hanya merupakan pajangan yang tidak memiliki makna bagi pengendara. Memang tidak semua pengendara atau pengemudi melanggar batasan rambu-rambu lalu lintas, namun ketika ada sebagian yang melanggar rambu tersebut maka akibatnya juga akan dirasa mereka yang justru tertib berlalu lintas. Sebagai contoh, ketika ada seseorang yang melanggar rambu lalu lintas, misal lampu merah, dan ada kendaraan yang memang seharusnya diberi kesempatan untuk melajukan kendaraannya kemudian malah tertabrak oleh si pelanggar rambu. Rugilah baik yang melanggar maupun yang tertib.

 Bentuk lainnya yang sekarang marak ialah, berkendara namun tetap dengan tangan yang sedang menelfon atau berkirim sms menggunakan mobile-phone. Sebagaimana kita ketahui, bahwa yang namanya berkendara memerlukan konsentrasi penuh, sehingga pengendara atau pengemudi mampu mengambil keputusan yang tepat ketika berkendara. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 283 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 "Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 750.000 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah)". Aturan yang ada bukan semata-mata memberatkan masyarakat namun lebih tepatnya menjaga ketertiban dan melindungi masyarakat itu sendiri. Apabila hendak menerima telfon atau mengirim sms hendaknya menepikan kendaraan di lajur kiri jalan, ataupun meminta bantuan kepada teman apabila berboncengan.

Keselamatan, ketertiban dan kenyamanan berkendara tentunya menjadi idaman bagi semua pengendara.Apabila masing-masing pengendara mau memantuhi aturan lalu lintas yang ada, saling hormat-menghormati dan bersopan santun dalam berlalu lintas, tentunya bukan hal yang mustahil hal tersebut dapat tercapai.Tidak perlu takut dengan razia Polisi apabila kita sendiri tertib dan mematuhi aturan yang ada (menyalakan lampu utama, membawa surat-surat kendaraan, menggunakan helm, dll). Kesadaran mutlak ada pada diri kita sendiri, bukannya takut akan aturan maupun takut ada polisi. Bukannya mengesampingkan peran pemerintah, namun kita sebagai pribadi dan warga negara lah yang harus menjaga kesadaran itu. Bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk diri sendiri dan keluarga kita. Tertib itu indah, Indah itu Baik, Baik itu Selamat, Selamat itu Bahagia.

Perjuangan

Hari ini pada tanggal 10 Juli 2011 saya menonton sebuah pertandingan final bola voli pra-pon antara Kontingen Kabupaten Banyumas melawan Kota Pekalongan di GOR Satria Purwokerto. Menit demi menit, set demi set, poin demi poin, saling serang dan bertahan, tidak ada yang mau mengalah. Permainan berakhir. Kontingen dari Kabupaten Banyumas akhirnya memenangkan partai finalnya melawan Kontingen Kota Pekalongan. Perjuangan tentunya tidak akan selesai sampai disitu karena masih ada pertandingan seleksi pon lanjutan dengan daerah-daerah lain di jawa tengah. Sebuah pelajaran yang saya petik dari perjuangan mereka baik yang menang maupun yang kalah, yaitu sikap yang pantang menyerah sampai dengan poin terakhir. Lelah bercampur ketegangan, terus menyertai mereka yang tengah berjuang menghadapi lawan. Konsentrasi penuh terus dikobarkan demi menjaga setiap jengkal lapangan serta berusaha mencari celah untuk melakukan serangan yang dapat mematikan lawan.
Sebuah perjuangan yang pastinya membuahkan hasil yang positif baik ketika menang sebagai juara, maupun kalah sebagai bahan pembelajaran agar bisa tampil lebih baik lagi dikemudian hari. Perjuangan yang nilai-nilai dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Lingkungan hidup kita, baik lingkungan keluarga, lingkungan sekolah atau kampus, lingkungan kerja, maupun lingkungan dalam komunitas masyarakat kita merupakan area atau bidang yang harus kita lindungi dari serangan lawan. Serangan lawan yang dimaksud oleh saya yaitu segala bentuk negatif dari pergaulan, kejahatan, maupun keadaan yang mengancam kenyamanan dan ketertiban dalam lingkungan kita. Selain menjaga area atau bidang kita sendiri, kita juga diharuskan melakukan serangan kepada lawan. Serangan yang saya maksudkan disini yaitu bagaimana caranya kita dapat melakukan suatu tindakan yang bisa memberikan masukan positif kepada diri kita. Sebagai contohnya yaitu dengan melatih kedisiplinan hidup kita, dimana apabila hidup kita sehari-hari dipenuhi kedisiplinan maka akan membentuk karakter kita yang jauh dari rasa malas,sungkan, ataupun kurang percaya diri. Serangan yang kita lakukan secara teratur dan konsisten akan membuahkan poin-poin keberhasilan dimana tujuan yang akan kita dapat yaitu kemenangan. Kemenangan baik secara lahir maupun batin, sehingga mendapatkan hadiah berupa kebahagiaan baik dunia maupun akhirat. Hidup adalah perjuangan. Perjuangan mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat.

Selasa, 07 Juni 2011

Prostitusi Hukum dan Peradilan

Hukum dan Peradilan merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Hukum ditegakkan oleh lembaga peradilan dengan putusan hakim. Hukum sebagai sarana memperoleh keadilan bagi masyarakat melalui lembaga peradilan yang memiliki kebebasan serta tidak ada intervensi maupun keberpihakan kepada salah satu pihak yang berperkara. Hukum merupakan refleksi dari keadaan masyarakat yang ada pada saat tersebut, dengan adanya hukum maka dapat digambarkan permasalahan-permasalahan yang ada dimasyarakat saat itu. Selain itu hukum merupakan bentuk produk politik, dimana kepentingan politik penguasa saat itu akan tercermin dalam bentuk atau hasil dari produk hukumnya.
Lalu apa hubungannya dengan prostitusi sebagaimana dalam judul artikel ini. Penulis mengibaratkan hukum dan peradilan layaknya sebuah prostitusi. Dimana dalam prostitusi, seseorang yang akan memakai jasa PSK diharuskan membayar harga berdasarkan kesepakatan ataupun tarif yang sudah ditentukan. Begitu pula dengan penegakkan hukum dilembaga peradilan, kemenangan pihak yang berperkara dapat ditentukan dengan kesepakatan harga yang dicapai antara pihak yang berperkara dengan Oknum penegak hukum. Konspirasi dalam pengadilan yang terjadi antara Hakim, Jaksa dan Pihak yang berperkara sudah sering terjadi. Contohnya saja dalam perkara Jaksa Urip Trigunawan, yang kedapatan menerima suap. Begitu pula dengan tertangkapnya Hakim pengawas Kepailitan pada PN Jakarta Pusat Syarifudin oleh KPK ketika ia sedang menerima suap oleh Pihak yang berperkara dalam pailitnya PT. SCI.
Tawar menawar harga untuk sebuah putusan ataupun dakwaan layaknya tawar menawar harga pada praktek prostitusi. Sepakat dengan harganya, silahkan pakai (PSK) maupun putusan atau dakwaan sesuai dengan yang diharapkan (Pengadilan). Padalah resiko yang dihadapi tidaklah enteng, baik bagi PSK maupun Penegak hukum macam Hakim dan Jaksa. Bagi PSK dan Penikmatnya, resiko terkena penyakit kelamin bahkan HIV/AIDS mengancam setiap saat. Begitu pula dengan Oknum Hakim dan Jaksa, dimana kinerja mereka yang tengah dalam sorotan, apabila tertangkap tangan maka mereka yang akan duduk dikursi pesakitan.
Sama-sama memiliki resiko tinggi, dan sama-sama perbuatan yang dilarang oleh Hukum dan Agama.
Dilihat lebih lanjut, ketika resiko itu terjadi baik PSK maupun Oknum Hakim dan Jaksa pasti akan dilepas oleh tempat bekerjanya. Tidak lagi mendapat dukungan maupun bantuan dari teman-temannya. Parhnya lagi jasa-jasa mereka tidak akan diingat oleh orang lain, yang diingat hanyalah keburukan yang mereka lakukan. Jadi sudah sepantasnya hukum dan peradilan ini dibenahi sehingga tidak akan ada lagi prostitusi dalam hukum dan peradilan.

Berapa Harga Hukum?

Penegakan hukum lagi-lagi menjadi sorotan. Ditengah upaya pemerintah menggalakkan kembali kesadaran hukum masyarakat dan perbaikan institusi penegak hukum, tertangkapnya Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan inisial S kembali membuat masyarakat menjadi pesimis dengan komitmen dari pemerintah dan aparat penegak hukum. Bagaikan jatuh tertimpa tangga, sudah keadaan penegakkan hukum carut marut ditambah lagi dengan ulah sejumlah oknum penegak hukum yang memanfaatkan jabatannya untuk memperoleh keuntungan sendiri. Kalau sudah begini , kemana lagi masyarakat pencari keadilan akan menaruh harapannya akan terciptanya keadilan bagi dirinya.
Institusi penegak hukum kembali diguncang masalah pelik, yaitu suap. Seperti tidak belajar dari kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan terdahulu, oknum-oknum penegak hukum kembali membuat ulah. Sepertinya remunerasi gaji Hakim tidak berimplikasi positif terhadap perilaku hakim. Pun mungkin dengan gaya hidup modern sekarang ini dimana tingkat kebutuhan hidup semakin meningkat, namun rasanya tak pantas dan memang tak pantas seorang hakim menerima suap.
Sebegitu murahnya kah harga hukum yang ada. Hanya dengan bermodalkan uang sekian ratus juta, hukum bisa dibeli. Hal ini mengingatkan kembali kasus Gayus Tambunan yang bebas keluar masuk Rutan Mako Brimob setelah menyuap beberapa oknum petugas di Rutan tersebut. Tidak ingatkah para penegak hukum bahwa perbuatannya itu akan dipertanggung jawabkan baik didunia maupun di akhirat. Sepadankah harga yang mereka tawarkan dengan akibat dan tanggung jawab yang mereka pikul. Bagaikan peribahasa nila setitik rusak susu sebelanga, hanya dengan uang sekian ratus juta, rusak semua karir dan kehidupan pribadi yang mereka jalani. Tidak kasian kah dengan keluarga mereka yang juga ikut merasakan dampak akibat perbuatan mereka.
Sudah sepantasnya para penegak hukum sekarang ini diajarkan kembali arti dari sebuah keadilan. Sudah pantaskah keadilan yang harusnya dijunjung tinggi dalam penegakkan hukum, di rusak hanya dengan segepok uang dolar. Pantaskah karir yang mereka bangun dan kehidupan keluarga yang mereka jalani, dirusak hanya dengan sekarung rupiah. Ingatlah bahwa yang setiap perbuatan pasti ada pertanggung jawabannya. Lalu berapa harga hukum yang pantas jika pengorbanan yang akan mereka dapatkan terlampau besar?

Minggu, 05 Juni 2011

Macet Maning

Macet Lagi Macet Lagi Gara Gara Si Komo Lewat. Sebuah lagu yang dipopulerkan oleh Kak Seto dan Sikomo. Sampai Saat ini walaupun lagu ini sudah tidak diperdengarkan lagi namun kenyataannya kemacetan memang masih ada, bahkan semakin menjadi.
Perkembangan dunia Industri Otomotif yang sangat pesat menyebabkan volume kendaraan di indonesia bahkan dunia melesat tajam. Peningkatan volume kendaraan ini tidak atau kurang diimbangi dengan peningkatan jumlah maupu  lebar jalan, terutama dikota-kota besar macam jakarta dan surabaya. Masalah kemacetan bukan lagi masalah lokal saja namun sudah menjadi masalah nasional. Kemacetan merupakan salah satu masalah yang terus dipikirkan oleh pemerintah untuk dipecahkan.
Di Jakarta sendiri, pemerintah daerah kota Jakarta terus berupaya untuk mengembangkan sistem transportasi masal yang diharapkan mampu mengurangi penggunaan kendaraan pribadi sehingga kemacetan dapat sedikit teratasi. Namun sudah beberapa tahun berselang semenjak hadirnya sistem transportasi masal "Transjakarta" atau yang lebih dikenal dengan sebutan "Busway", kemacetan bukannya mereda malah bertambah. Hal ini dikarenakan jalur Busway justru memakan jalur kendaraan normal, sehingga jalur kendaraan normal mengalami penyempitan. Masalah lain yaitu semakin mudahnya masyarakat untukmemperleh kendaraan bermotor terutama roda dua, dimana sekarang hanya dengan uang muka sebesar Rp.500.000,- saja sudah dapat membawa pulang sebuah motor. Masalah lain yaitu sistem transportasi semacam angkot dan bus-bus yang tidak mempunyai halte dan biasa ngetem disembarang tempat terutama dititik-titik keramaian juga menambah masalah kemacetan. Belum lagi dengan banyaknya jalanan yang berlubang, yang membuat laju kendaraan melambat dan bahkan memakan korban jiwa. Penggunaan sistem 3 in one dijakarta juga belum mampu mengurangi jumlah kendaraan roda empat, bahkan menimbulkan masalah baru, yaitu munculnya joki-joki 3 in one.
Bisa dibayangkan berapa jumlah liter bahan bakar yang habis hanya untuk berangkat dari rumah ke kantor, berapa lama waktu yang terbuang hanya untuk mencapai tempat tujuan. Masalah kemacetan ini bukan saja tanggung jawab pemerintah untuk memecahkannya namun merupakan tugas kita bersama untuk mencari solusi yang terbaik. Saya sendiri bingung untuk memberikan sebuah solusi cerdas guna menghadapi kemacetan ini, perlukah monorail atau sistem transportasi masal semacam kereta shinkansen layaknya dijepang??Apapun itu mari berharap yang terbaik bagi kemajuan negeri ini.

Kenapa Harus Takut dengan Razia

Razia. Sebuah kata yang tentu sudah dikenal oleh masyarakat, terutama bagi pengendara kendaraan bermotor. Bisa dikatakan sebuah momok bagi sebagian pihak. Kenapa demikian? Bagi sebagian orang razia dianggap hanya sebagai akal-akalan Oknum Polisi untuk mendapatkan "tambahan". Seperti kebanyakan Razia yang dilakukan oleh Polisi dimana pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan Surat-surat kendaraan bermotor, seperti SIM dan STNK, maupun pemeriksaan barang bawaan serta surat izinnya jika barang yang dibawa membutuhkan surat izin, seperti Kayu dan Hewan Ternak.
Razia yang dilakukan oleh Polisi sebenarnya bertujuan agar masyarakat mematuhi tata administrasi dalam berkendara, yaitu membawa surat-surat kendaraan dan surat izin mengemudi (SIM). Ibaratnya, orang yang sudah membeli tiket pesawat, ia naik kepesawatnya tapi tidak dapat menunjukkan tiket pesawatnya, akhirnya ia tidak diperkenankan menaiki pesawat tersebut, ataupun apabila sudah terlanjur, maka yang bersangkutan akan dikenai sanksi, misal membayar tiket pesawat 2 kali lipat.
Sebenarnya masyarakat tidak perlu takut dengan Razia apabila ia sudah melengkapi syarat administrasi tersebut sebelum berkendara. Tentunya juga ditunjang dengan kendaraan yang layak jalan dan memenuhi kelengkapan, misal memasang 2 kaca spion dan menyalakan lampu utama untuk kendaraan roda 2, dsb.
Razia merupakan salah satu bentuk upaya kepolisian dalam meminimalisir penggunaan kendaraan bodong (tak bersurat) maupun kendaraan curian, pun untuk menertibkan masyarakat dalam berkendara. Walaupun dalam prakteknya, tidak jarang ada Oknum Kepolisian yang memanfaatkan apabila ada masyarakat yang tidak membawa surat kelengkapan berkendaranya. Namun terlepas dari hal negatif tersebut, hendaknya masyarakat atau kita sendiri hendaknya juga ikut tertib dengan membawa surat kelengkapan berkendara dan juga ikut tertib dalam berlalu lintas dijalan raya. Sehingga kita bisa pergi ketempat tujuan tanpa terhambat urusan administrasi kelengkapan berkendara. Kalau kita sudah melengkapi surat kelengkapan berkendara, mengapa mesti takut razia?

Hakikat Seorang Hakim

Hakim. Sebuah profesi yang amat sangat dihormati oleh siapapun. Sebuah profesi yang amat membutuhkan kekuatan lahir dan batin dalam menentukan sebuah putusan. Hakim, sebuah pekerjaan yang langsung berhubungan dengan Tuhan, sebagaimana terdapat dalam amar putusan hakim yang selalu diawali dengan kalimat "Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Hakim merupakan bagian dari penegakan Hukum yang menempati pole terakhir, dimana ia yang menentukan seseorang itu bersalah atau tidak. Sebuah putusan yang salah, maka ia akan langsung bertanggung jawab kepada Tuhan. Bersama dengan Kepolisian, Kejaksaan dan Advocat, bahu membahu menegakkan terwujudnya keadilan. Oleh karena itu sudah sepantasnya Hakim, baik didalam ataupun diluar persidangan harus memberikan contoh yang baik kepada masyarakat. Hakim harus menjadi tauladan baik bagi diri dan keluarganya, maupun orang lain. Hakim harus mampu menjaga harkat dan martabat  "Hakim" dalam dirinya. Apabila Hakim mampu mengendalikan hawa nafsu dan menahan godaan dari pihak luar, niscaya tidak akan lagi ditemukan kasus Seorang Hakim ditangkap atas tuduhan menerima suap, ataupun memainkan perkara sehingga menguntungkan salah satu pihak.

Selasa, 01 Maret 2011

Hubungan ketaatan Hukum dan Keluarga

Perkembangan kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari aturan. Aturan bagaimana seseorang harus bertingkah laku,baik terhadap dirinya sendiri maupun ketika berhadapan dengan orang lain.
Kontak antar perilaku manusia inilah yang diatur,dimana ketika kontak yang terjadi menimbulkan konflik,maka aturan lah yang akan meluruskannya.
Hukum merupakan aturan yang dibuat baik tertulis maupun tidak tertulis,dimana terdapat sanksi yang akan diberikan bagi pelanggarnya.
Hukum yang dibuat oleh pemerintah,berlaku dan mengikat bagi setiap warga negara.
Lalu bagaimana dengan hukum yang ada didalam keluarga?Sebagai suatu komunitas terkecil dalam masyarakat,tentu setiap keluarga memiliki tata aturan yang berbeda antara keluarga yang satu dengan yang lainnya. Ada keluarga yang memiliki aturan yang tegas,dimana setiap anggota keluarga harus mematuhinya. Ada pula keluarga yang membebaskan setiap anggota keluarganya,asal tidak merugikan orang lain. Dari hal ini saya berfikir,adakah hubungannya antara ketaatan hukum di masyarakat dengan pola atau aturan yang ada didalam keluarga. Apakah keluarga yang memiliki aturan tegas didalamnya,lebih taat hukum dibandingkan dengan keluarga yang membebaskan perilaku anggota keluarganya. Memang perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk bisa memastikan korelasi ini.

Senin, 28 Februari 2011

Selangkah Lebih Dekat Mengenal Hukum

Apa itu Hukum?Untuk apa itu Hukum?Buat siapa itu Hukum?
Sepintas pertanyaan tersebut cukup membuat saya juga ikut berfikir untuk menjawabnya. Namun, ketika saya mencoba untuk mencari makna dibalik pertanyaan-pertanyaan tersebut saya berfikir bisakah saya memberi jawaban yang memuaskan. Tidak. Itu yang ada dalam benak saya.
Sering saya mendengar "Hukum itu dibuat untuk dilanggar". Benarkah? Saya lalu berfikir sejenak, mungkin iya mungkin juga tidak, tergantung dari sudut mana kita melihatnya.
Sudah banyak para ahli hukum yang mendefinisikan Hukum.Bahkan masing-masing ahli memiliki pendapat tersendiri mengenai definisi hukum. 
Dari sekian definisi yang ada, menurut hemat penulis Hukum merupakan suatu kumpulan norma baik tertulis maupun tidak tertulis, dimana didalamnya terdapat sanksi bagi yang melanggarnya. Tertulis karena ditetapkan oleh pemerintah sebagai hukum dan mengikat terhadap setiap warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang berada di indonesia. Tidak tertulis, karena berlaku dan dipatuhi oleh masyarakat sebagai aturan yang ada didalam komunitas masyarakat yang bersangkutan. Ada Sanksi bagi yang melanggarnya, karena setiap pelanggaran terhadap norma/hukum akan menyebabkan ketidakseimbangan dan kegoncangan di dalam masyarakat, sehingga diperlukan sanksi bagi pelaku pelanggar norma agar tercipta kembali keseimbangan dalam masyarakat.
Kalau kita melihat dari pengertian dan penjelasan tersebut, cukup jelas bahwa hukum memang dibuat untuk dipatuhi karena terdapat sanksi bagi yang melanggarnya. Disini negara sebagai pemegang kekuasaan lah yang berwenang untuk menegakkan hukum dan memberikan sanksi kepada masyarakat bahkan pemerintah itu sendiri apabila terbukti melanggar hukum.
Lalu bagaimana masyarakat memandang pengertian hukum itu sendiri?
Berdasarkan pengalaman saya, hukum adalah polisi. jika ada polisi hukum ditegakkan dan dipatuhi, tidak ada polisi kita bebas berbuat. Contoh yang konkrit, dalam berlalu lintas, begitu ada polisi kita berbondong-bondong menggunakan helm dan tidak melanggar rambu-rambu lalu lintas. Begitu tidak ada polisi?? 
Bukannya mendiskreditkan masyarakat termasuk saya, tapi hanya sekedar melihat fenomena yang ada. Tidak sedikit juga masyarakat yang memang benar-benar memahami pentingnya mematuhi hukum, tidak sedikit pula yang menyepelekan hukum. Semua kembali pada kita, Ingin dekat dengan hukum, atau ingin bermain-main dengan hukum. Ada pepatah yang mengatakan "tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta". Jadi marilah kita mengenal hukum, dengan mengenal hukum kita akan cinta dan menaati hukum. Sehingga tujuan Hukum untuk tercapainya keadilan, kemanfaatan dan kepastian Hukum dapat terwujud.